Tanjungbalai – Sidang kasus narkoba dengan terdakwa Rahmadi di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungbalai mendadak menjadi sorotan publik.
Bukan hanya karena dakwaan 10 gram sabu yang menjeratnya, tetapi juga karena aksi unjuk rasa yang diduga penuh rekayasa.
Penelusuran awak media mengungkap bahwa sebagian besar peserta aksi merupakan massa bayaran. Mereka hanya diminta hadir, membawa spanduk, dan meneriakkan tuntutan agar hakim menghukum Rahmadi seberat-beratnya.
“Saya ikut karena diajak Bang Jahar. Dikasih uang Rp50 ribu, cuma disuruh demo dan teriak-teriak aja. Saya nggak tahu siapa itu Rahmadi,” kata salah satu peserta demo yang ditemui di sekitar lokasi.
Aksi tersebut semula diklaim sebagai gerakan moral masyarakat dalam mendukung pemberantasan narkoba. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Beberapa peserta mengaku sama sekali tak paham duduk perkara kasus yang tengah disidangkan.
Rahmadi sendiri merupakan warga Tanjungbalai yang didakwa memiliki 10 gram sabu. Namun, kuasa hukumnya, Suhandri Umar Tarigan, menegaskan bahwa kliennya menjadi korban kriminalisasi oleh oknum aparat.
“Tidak ada barang bukti yang ditemukan langsung pada saat penangkapan. Prosesnya janggal, bahkan ada kekerasan terhadap Rahmadi. Ini jelas pelanggaran serius,” ujar Suhandri saat dikonfirmasi wartawan.
Ia menyebut penangkapan dilakukan oleh tim dari Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Sumut yang dipimpin oleh Kompol DK, pada Maret 2025. Rahmadi disebut ditangkap di sebuah toko pakaian dengan mata dilakban dan tanpa menunjukkan surat penangkapan.
“Barang bukti sabu justru ditemukan kemudian di mobilnya. Kami duga itu sengaja diletakkan. Sudah kami laporkan juga ke Polda Sumut,” tambahnya.
Menurut Suhandri, laporan dugaan penyiksaan dan rekayasa barang bukti sudah disampaikan ke Bidpropam Polda Sumut. Bahkan sudah digelar perkara. Namun, Kompol DK sebagai terlapor tidak hadir dalam gelar tersebut, meski kantornya berada di kompleks yang sama.
Hingga kini, belum ada penjelasan resmi dari pihak kepolisian terkait dugaan mobilisasi massa maupun proses hukum terhadap laporan penyiksaan tersebut.
Sementara itu, aktivis hukum dan pegiat keadilan meminta PN Tanjungbalai tetap menjaga independensi dalam menyidangkan kasus ini.
“Kalau benar ada tekanan melalui aksi massa bayaran, ini berbahaya bagi sistem peradilan kita. Hakim harus fokus pada fakta hukum, bukan tekanan kerumunan,” ujar Rifky Harahap, pengamat hukum pidana.
Kasus ini memunculkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum penegak hukum dalam kasus narkotika. Masyarakat pun mendesak agar proses hukum terhadap Rahmadi berlangsung adil dan transparan.
Wartawan media ini masih berupaya mengonfirmasi pihak Ditresnarkoba Polda Sumut dan PN Tanjungbalai terkait perkembangan kasus ini.
(red)