Jakarta — Dalam senyap tafsir konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengukir babak baru bagi arsitektur demokrasi Indonesia. Melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK resmi memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu daerah dengan jeda waktu minimal dua tahun. Sebuah putusan yang tidak hanya menjadi dokumen hukum, tapi juga panggilan untuk menata ulang fondasi transisi kekuasaan di level daerah.
Menyikapi hal tersebut, Ketua Bidang Demokrasi Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (DPN ADKASI), Said Syahrul Rahmad, mengajak semua pihak untuk terlibat dalam merumuskan masa transisi secara bijak dan berlandaskan konstitusi.
“Berdasarkan putusan MK, Pemilu nasional yang mencakup pemilihan Presiden, DPR, dan DPD akan dilangsungkan pada tahun 2029. Sementara itu, Pemilu daerah yang terdiri dari pemilihan kepala daerah serta DPRD provinsi/kabupaten/kota akan digelar setelah jeda minimal dua tahun, yakni tahun 2031,” terang Said saat dikonfirmasi, Sabtu (29/6/2025).
Skema baru ini memberi implikasi langsung pada masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD yang terpilih pada Pemilu 2024. Kepala daerah akan menjabat hingga tahun 2030, sedangkan DPRD hingga 2029. Namun di titik ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana menjembatani kekosongan kekuasaan legislatif daerah setelah masa jabatan usai, jika Pemilu daerah baru digelar dua tahun kemudian?
“Selama ini, kita mengenal istilah Penjabat (Pj) untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, sesuai UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan regulasi organik lainnya. Tapi untuk DPRD, tidak ada istilah penjabat. Yang ada hanyalah mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW), dan itu pun untuk sisa masa jabatan yang masih dalam kerangka 5 tahun. Maka, memperpanjang masa jabatan DPRD menjadi satu-satunya solusi yang paling rasional,” ungkap Said lugas.
Ia juga menekankan bahwa ADKASI akan mengambil peran aktif dalam merumuskan skema transisi ini. Melalui kajian konstitusional yang melibatkan para pakar hukum tata negara, ADKASI akan merumuskan rekomendasi yang kredibel dan menjunjung asas hukum.
“ADKASI di bawah kepemimpinan Ketua Umum Siwanto selama ini sangat aktif membangun komunikasi dan dialog dengan berbagai pihak. Kami siap menjadi bagian dari solusi, bukan hanya sebagai representasi politik DPRD kabupaten, tapi juga sebagai mitra strategis pembentuk undang-undang,” imbuh politisi Partai Golkar yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRK Nagan Raya itu.
Lebih jauh, Said Syahrul Rahmad menegaskan bahwa proses perumusan masa transisi ini harus berlandaskan pada prinsip kehati-hatian dan asas hukum tata negara. Ia memperingatkan agar jangan sampai transisi dijadikan ruang kompromi kepentingan politik pragmatis.
“Pengaturan masa jabatan dalam masa transisi ini harus bersih dari kepentingan sesaat. Ia harus lahir dari kajian akademik yang mendalam, tidak semata kompromi politik. Karena ini menyangkut mandat rakyat dan kehormatan demokrasi daerah,” tegasnya.
Tak hanya itu, momentum putusan MK ini juga dilihat sebagai pintu masuk bagi rekodifikasi hukum Pemilu dan Pemilihan. Menurutnya, tidak ada lagi pemisahan antara dua rezim tersebut; keduanya kini menjadi satu tubuh dalam dua napas berbeda, yang diikat oleh jeda konstitusional.
“Kodifikasi hukum Pemilu dan Pilkada adalah keniscayaan. Putusan MK ini adalah peluang emas untuk menyatukan keduanya dalam satu kerangka hukum yang sistematis, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih aturan maupun tafsir,” tutupnya. (*)