Jakarta | www.kupastuntas86.com-
Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki) mengutuk penangkapan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte di Bandara Manila pada 11 Maret 2025 oleh otoritas setempat atas perintah ICC (International Criminal Court) atau Mahkamah Kejahatan Internasional. Penangkapan itu menyentak dunia karena tuduhan yang subyektif dan melanggar kedaulatan suatu negara. Duterte dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan karena telah membunuh lebih dari 6000 orang terkait narkotika.
“Filipina dan negara-negara Asean adalah negara berdaulat, termasuk dalam proses hukum. Duterte melakukan hukuman mati terhadap bandar dan pengedar narkoba di negaranya yang merusak generasi muda dan mengancam kerusakan lebih besar. ” kata Ketua Lemtaki, Edy Susilo SSos kepada media Minggu (16/3)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Edy, Mahkamah Kejahatan Internasional tidak boleh mengintervensi kedaulatan suatu negara terkait proses hukum. Tudingan kejahatan kemanusiaan harus dibuktikan dengan fakta yang jelas. “Menerapkan hukuman mati bagi bandar dan pengedar narkoba itu kebijakan. Setiap negara berhak menentukan hukumnya sendiri,” ujarnya.
Edy menjelaskan, seharusnya ICC cukup merekomendasikan bukti kejahatan yang dituduhkan kepada otoritas hukum setempat dan tidak melampaui kedaulatan negara. Menghukum penjahat yang melakukan kejahatan itu bukan kejahatan tapi kebijakan. Penangkapan itu harus dikutuk keras karena akan mempengaruhi kedaulatan negara-negara lainnya, termasuk Asean dan Indonesia.
Lebih lanjut Mahasiswa Magister Hukum Unitomo Surabaya yang tinggal menunggu wisuda itu menegaskan, ICC tidak boleh melanggar batas otoritas kedaulatan suatu negara. Kecuali kejahatan kemanusiaan dimaksud merupakan kejahatan lintas negara, pembantaian misalnya. “Penangkapan itu Tidka bisa dibenarkan!” tegasnya.
Edy menduga ada agenda tersembunyi di balik penangkapan itu. Sebagai Presiden, Duterte memimpin sendiri perang melawan mafia narkoba yang merajalela di Filipina dengan menerapkan hukuman mati. Ribuan bandar dan pengedar menjadi sasaran hukuman tersebut. Rakyat Filipina sangat senang dan berterima kasih kepada Duterte yang telah menyelamatkan nwgara dari kerusakan akibat narkoba. Sebanyak 82,5 persen penduduk Filipina menyatakan mendukung dan puas atas kebijakan tegas Duterte tersebut.
“Jadi aneh kalau Duterte kemudian dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan karena perang melawan narkoba tersebut. Beda halnya dengan pemimpin yang membohongi rakyatnya dengan menggunakan dokumen palsu misalnya, terus melakukan korupsi secara simultan, tapi tidak disentuh hukum. itu korbannya justru melebihi pembunuhan karena membuat rakyat menderita berkepanjangan. Tapi semua perlu dibuktikan dengan fakta dan data yang jelas,” paparnya.
Untuk itu, lanjut Edy, Lemtaki bakal menggelar aksi di depan Kedutaan Filipina memberikan dukungan untuk pembebasan Duterte dan menolak intervensi ICC yang melampaui kedaulatan suatu negara. Edy mempertanyakan, mengapa ICC tidak menangkap PM Israel Netanyahu yang telah membantai puluhan bahkan ratusan ribu rakyat Palestina, termasuk anak-anak dan wanita. Mengapa tidak tergerak ketika terjadi pembantaian dan perlakuan tidak manusiawi terhadap upaya genosida kaum muslim di Uigur di Cina. Ketika terjadi genosida muslim Rohingya di Myanmar tahun 2017 yang menewaskan 24 ribu dan 700.000 melarikan diri ke Bangladesh, atau pembantaian Seebrena terhadap 8.000 lebih muslim Bosnia oleh tentara Serbia, serta peristiwa kemanusiaan lainnya.
“Kita sedang koordinasikan dengan anggota untuk aksi secepatnya. Kita harus buka mana yang kejahatan kemanusiaan dan mana yang kebijakan. ICC tetap tidak boleh intervensi kedaulatan suatu negara,” pungkasnya. ***