Majalengka | www.kupastuntas86.com-
Tanah bengkok, sebagai bagian dari kekayaan desa, dilindungi oleh regulasi ketat yang bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan. Berdasarkan Permendagri No. 4 Tahun 2007, tanah desa termasuk tanah bengkok tidak boleh dilakukan pelepasan hak kepemilikan kecuali untuk kepentingan umum, dengan mekanisme yang sangat jelas, termasuk penggantian tanah yang lebih baik dan berlokasi di desa setempat. Namun, kasus di Desa Bongas Wetan, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka, menjadi sorotan akibat dugaan penyalahgunaan tanah bengkok oleh Kepala Desa Mamat Saripudin.
Regulasi Tanah Desa yang Dilanggar
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Permendagri No. 4 Tahun 2007 Pasal 15 dengan tegas menyatakan:
1. Kekayaan desa berupa tanah tidak dapat dilepaskan kecuali untuk kepentingan umum.
2. Pelepasan harus disertai ganti rugi sesuai harga pasar dan NJOP.
3. Ganti rugi berupa uang harus dialihkan untuk pembelian tanah pengganti yang lebih produktif.
4. Proses pelepasan wajib mendapatkan persetujuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), izin tertulis dari bupati/walikota, dan gubernur.
Namun, dalam kasus ini, tanah bengkok seluas ±10 hektare yang terletak di Blok Sawah Asem, Blok Kosambi Pandak, dan Blok Gaul dijual kepada PT Indoplas Footware Indonesia senilai Rp11,93 miliar, tanpa memenuhi mekanisme yang ditentukan. Bahkan, harga jual tanah Rp225.000/m² dinilai tidak sesuai dengan potensi produktivitas lahan.
Potensi Penyalahgunaan Jabatan
Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kepala Desa yang terbukti menjual tanah bengkok untuk kepentingan pribadi dapat dijerat Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3, dengan ancaman pidana maksimal penjara seumur hidup atau denda hingga Rp1 miliar. Dugaan penyalahgunaan kewenangan ini diperkuat dengan pengakuan dalam Surat Keterangan No. 141/578/XI/Pemdes/2021 yang ditandatangani Kepala Desa pada 1 November 2021.
Tanggapan Aktivis dan Tuntutan Penegakan Hukum
Saeful Yunus, tokoh pergerakan Kabupaten Majalengka, mengecam tindakan Kepala Desa Bongas Wetan yang dinilai terang-terangan melanggar aturan. “Lahan produktif ini tidak boleh dialihfungsikan untuk industri tanpa persetujuan pemerintah pusat dan provinsi. Ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang dan dugaan memperkaya diri sendiri,” tegasnya.
Saeful juga mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengambil tindakan terhadap pelaku. “Kasus ini harus menjadi pembelajaran bagi kepala desa lain untuk tidak mengutamakan keuntungan pribadi di atas kesejahteraan masyarakat. Supremasi hukum harus ditegakkan!” tambahnya.
Pertanyaan Besar: Ke Mana Uang Rp11,93 Miliar?
Hingga kini, masyarakat Desa Bongas Wetan mempertanyakan alokasi dana hasil penjualan tersebut. Apakah uang ini digunakan untuk kepentingan masyarakat atau justru masuk ke kantong pribadi? Ketidaktransparanan ini semakin memperkuat dugaan korupsi.
Kasus ini bukan sekedar persoalan lokal, tetapi ujian bagi integritas hukum dan keadilan di Indonesia. Diharapkan penegakan hukum terhadap pelaku tidak hanya memberi efek jera, tetapi juga menjadi tonggak perubahan dalam pengelolaan kekayaan desa. (Red)
(Bersambung)